Sabtu, 31 Desember 2011

TEGASKAN HAK DAN KEWAJIBAN UNTUK KEPENTINGAN RAKYAT, DAERAH, DAN SISTEM PEMERINTAHAN


Bisa dikatakan anggota DPD RI merupakan lembaga netral yang bebas dari penguruh pihak manapun, karena anggota DPD RI merupakan individu yang tidak terikat oleh partai politik. Peran DPD RI seharusnya lebih besar dan lebih memiliki pengaruh yang luar biasa dalam membangun negeri ini. Saat ini kita tahu bahwa kepercayaan masyarakat terhadap partai politik telah menurun karena banyaknya kasus-kasus yang melibatkan para pejabat dan petinggi-petinggi partai politik yang sampai saat ini belum dapat terselesaikan dengan tuntas, ibarat kata pepatah mati satu tumbuh seribu, terungkap satu kasus melebar menjadi kasus-kasus yang lain. Awal reformasi merupakan titik yang terang untuk Indonesia dengan dibentuknya  lembaga baru dalam jajaran sistem pemerintahan Republik Indonesia. Tapi sayangnya lembaga ini belum memberikan pengaruh yang besar terhadap sistem yang ada di Indonesia. Analisis saya terhadap mengapa eksistensi DPD RI kurang dan lembaga ini sering disebut lembaga mati bukan karena orang-orang didalamnya yang tidak mau memperjuangkan kepentingan masyarakat melainkan belaum adanya aturan main yang jelas dan hak-hak istimewa untuk para anggota DPD RI. Contohnya, kita tahu dalam memutuskan suatu UU yang di usulkan oleh masing-masing anggota DPR RI maupun DPD RI harus melalui beberapa tahapan dan tata cara tersendiri. Sedangkan kita tahu untuk mengesahkan UUharus mendapatkan persetujuan dari 50%+1 jumlah keseluruhan dari anggota MPR RI. Sekarang kita lihat anggota MPR RI itu sendiri terdiri dari 560 anggota DPR RI dan 132 anggota dpd ri untuk periode 2009-2014. Sekarang dapat ditarik kesimpulan sekalinpun seluruh anggota DPD RI bergabung untuk mensahkan uu yang meraka usulkan tetap saja apabila uu tersebut bertentangan dengan kepentingan anggota dewan yang lain maka uu tersebut akan batal. Dan sampai kapanpun tidak dapat disahkan. Anggota DPD RI merupakan perwakilan dari daerah-daerah  tentu saja sudah dapat  dipastikan meraka lebih tahu apa yang dibutuhkan oleh masyarakat daerah dan bagaimana mereka mengupayakan kepentingan masyarakatnya agar seimbang dengan kepentingan pemerintah pusat.
Jika saya yang terpilih menjadi salah satu anggota DPD RI, yang pertama kali saya lakukan adalah mengkaji ulang Pasal 49 dan 50 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD, dan DPRD.  Yang katanya berkenaan dengan kewajiban tersebut, hal itu mempertegas fungsi politik legislatif Anggota DPD RI yang meliputi representasi, legislasi dan pengawasan yang dicirikan oleh sifat kekuatan mandatnya dari rakyat pemilih yaitu sifat “otoritatif” atau mandat rakyat kepada Anggota; di samping itu ciri sifat ikatan atau “binding” yaitu ciri melekatnya pemikiran dan langkah kerja Anggota DPD RI yang semata-mata didasarkan pada kepentingan dan keberpihakan pada rakyat daerah. Tetapi pada fakta dan realitas yang terjadi saat ini hal tersebut tidak sesuai dengan yang terjadi saat ini. Yang kedua, saya akan meminta ketegasan mengenai peraturan sidang MPR RI yang membahas mengenai usulan peraturan maupun undang-undang yang diusulkan oleh anggota DPR RI dan anggota DPD RI harus ada perbedaan dan keistimewaan tersendiri untuk anggota DPD RI (mengingat anggota DPD RI merupakan individu yang bebas dari pengaruh Partai Politik sehingga kemungkinan kecil usulan yang diajukan mengandung unsure kepentingan politik). Terakhir barulah saya dapat menyerap, menghimpun, menampung dan menindaklanjuti aspirasi masyarakat dan daerah sesuai dengan harapan bangsa ini.

                                                                                       

Minggu, 11 Desember 2011

Jurnalisme Warga Dilihat dari Berbagai Segi

 sumber : http://elisabetyas.wordpress.com/2010/02/25/jurnalisme-warga-dilihat-dari-berbagai-segi/

Apakah Citizen Journalism?
Apakah yang dimaksud citizen journalism? Tidak ada jawaban yang mudah untuk menjawab pertanyaan tersebut dan setiap orang yang ditanya memiliki jawaban yang beragam. Beberapa orang menyebut itu jurnalisme jaringan, jurnalisme sumber terbuka, dan media publik. Komunikasi telah berubah dengan hebat sejak kemunculan internet. Internet memungkinkan masyarakat atau publik untuk menyumbangkan karya jurnalistik, tanpa pelatihan profesional.
Istilah citizen journalism atau yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia sebagai jurnalisme warga sendiri belum menemui titik kesepakatan. Septiawan Santana, salah seorang akademisi ilmu komunikasi Universitas Islam Bandung (Unisba), berpendapat bahwa jurnalime warga memiliki berbagai sebutan, di antaranya public journalism, participatory journalism, dan open source journalism. Dida Dirgahayu, dalam esainya yang berjudul “Citizen Journalism Sebagai Ruang Publik (Studi Literatur untuk Menempatkan Citizen Journalism Berdasarkan Teori Jurnalistik dan Mainstream Media)”, mempertanyakan apakah citizen journalism merupakan jurnalistik dan media massa baru atau sekadar ruang publik.
Citizen journalism adalah kegiatan masyarakat yang “bermain dengan aktif dalam proses mengumpulkan, melaporkan, menganalisis, dan menyebarkan informasi dan berita”. Intensitas dari partisipasi ini adalah untuk menyediakan informasi yang independen, akurat, relevan yang mewujudkan demokrasi. Citizen journalism tidak perlu bingung dengan istilah civic journalism, yang hanya dipraktikkan oleh jurnalis profesional. Citizen journalism adalah bentuk spesifik dari media massa.
Citizen journalism adalah keterlibatan warga dalam memberitakan sesuatu (dalam pengertian setiap orang adalah wartawan dan kerja wartawan bisa dilakukan oleh setiap orang). Citizen journalism memberi pengertian bahwa, setiap pengalaman yang ditemui sehari-hari di lingkungannya, atau melakukan interpretasi terhadap suatu peristiwa tertentu. Semua individu bebas melakukan hal itu, dengan perspektif masing-masing.
Citizen journalism tidak bertujuan menciptakan keseragaman opini publik namun lebih menitikberatkan pada “inilah yang terjadi di lingkungan kita”. Pemberitaan citizen journalism lebih mendalam dengan proses penayangan berita di televisi, dengan menggunakan visual dari masyarakat. Citizen journalism dinilai sebagai bentuk partisipasi aktif masyarakat untuk menyuarakan pendapat secara lebih leluasa, tersruktur, serta dapat diakses secara umum dan sekaligus menjadi rujukan alternatif.
Clyde H. Bentley, guru besar madya pada Sekolah Tinggi Jurnalistik Missouri AS, menilai bahwa sebagian besar masyarakat tidak ingin menjadi jurnalis, tapi mereka ingin berkontribusi secara nyata dengan menuliskan pikiran atau pendapat mereka tentang suatu hal.
Kehadiran weblog atau blog, menjadikan kegiatan publikasi yang dulunya hanya didominasi oleh media massa, kini dapat dilakukan siapapun yang memiliki akses internet. Ketika seseorang memutuskan menjadi citizen journalist, ia harus memiliki keinginan untuk berbagi (to share) dengan segenap semangat dan gairah yang ada pada dirinya. Fenomena weblog pribadi sebenarnya telah mencerminkan passion to share dengan baik. Orang-orang membuat blog karena ingin berbagi cerita, menyuarakan opini, mendokumentasi peristiwa yang disaksikan atau diketahui.
Istilah citizen journalism merujuk pada pengertian di mana masyarakat biasa bisa berkontribusi untuk menghasilkan produk jurnalisme (terutama informasi) yang dibutuhkan orang lain. Tak perlu seseorang harus lulus dari jurusan jurnalistik, atau komunikasi massa, untuk bisa menulis.
Citizen Journalism adalah istilah yang menggambarkan betapa kegiatan pemberitaan beralih ke tangan orang biasa. Dunia pemberitaan baru memungkinkan pertukaran pandangan yang lebih spontan dan lebih luas dari media konsvensional. (perspektifonline.com)
Pergerakan citizen journalism dimulai setelah jurnalis mulai mempertanyakan prediksi pekerjaan mereka. Para jurnalis menjadi bagian masyarakat atau publik, pergerakan jurnalisme melawan penyelewengan politik.
Walau wartawan atau pers menganggap diri mereka sebagai media komunikasi publik, bahkan disebut sebagai pilar keempat dari demokrasi namun dalam praktiknya, media massa terjebak pada kungkungan  institusionalisasi suatu lembaga. Maksudnya, mereka telah menjelma menjadi institusi yang mandiri dari publik yang melahirkannya. Jika di masa lalu media massa menjadi milik para wartawannya, kini bahkan media massa menjadi milik para pemodal. Jika pemodal memiliki kepentingan dengan kekuasaan, maka pers tak lagi menjadi kekuatan masyarakat dan gagal menjadi pilar keempat demokrasi. Pers tidak lagi menjadi pembela masyarakat, justru menjadi kekuatan yang bisa membahayakan masyarakat.
Citizen Journalism jika diartikan menurut bahasanya berarti jurnalisme warga, aksi dari warga kota/negara yang memainkan peran aktif dalam proses pengumpulan, pelaporan, analisa, serta diseminasi berita dan informasi. Citizen journalism melibatkan warga dalam memberitakan sesuatu peristiwa dengan begitu setiap orang adalah wartawan dan kerja wartawan bisa dilakukan oleh setiap orang, baik itu ibu rumah tangga, pelajar/mahasiswa bahkan para pekerja kantoran. Karena tidak terikat dengan salah satuprofesi tertentu maka citizen journalism dikategorikan sebagai jurnalisme publik. Maksud dari partisipasi publik ini untuk menghadirkan independensi, reliabilitas, akurasi, wide-ranging dan relevansi informasi yang ada dalam demokratisasi.
Di sini setiap orang dapat menjadi subjek sekaligus objek dari dari media massa, bukan lagi hanya menjadi subjek seperti dalam media-media konvensional. Dalam media konvensional biasanya hanya mereka yang terdaftar sebagai wartawan dalam media tersebut saja yang dapat memberikan berita, sedangkan masyarakat pada posisi pasif sebagai penonton, pemirsa ataupun pembaca saja. Masyarakat tidak dilibatkan terlalu jauh untuk dapat menentukan topik, tema maupun bahasan dalam setiap pemberitaannya. Karena sejauh ini ternyata media-media utama, mainstream yang ada, tidak bisa memenuhi kebutuhan dengan alasan space, industri, bisnis serta alasan lainnya. (Blog Rizky Wahyuni, 11 Desember 2007)
Citizen Journalism adalah perlawanan. Perlawanan terhadap hegemoni dalam merumuskan dan memaknai kebenaran. Perlawanan terhadap dominasi informasi oleh elite masyarakat. Akhirnya, perlawanan terhadap tatanan peradaban yang makin impersonal. Namun, lebih dari itu, Citizen Journalism adalah penemuan kembali kemanusiaan, persahabatan, dan kekeluargaan. Setiap orang adalah subjek yang berhak merumuskan sendiri kebutuhannya. (Republika, 7 November 2007)
Dan Gillmor, penulis buku We the Media: Grassroots Journalism by the People for he People (2006) yang juga mantan kolumnis teknologi di San Jose Mercury News, mengatakan, abad ke 21 ini akan menjadi tantangan berat bagi media massa konvensional atas lahirnya jurnalisme baru yang sangat berbeda dengan jurnalisme terdahulu. Kelahiran citizen journalism diperkuat oleh kekecewaan warga akan pemberitaan di mainstream media yang sarat kepentingan politik dan ekonomi. Agenda setting yang ditetapkan mainstream media, seringkali tidak sesuai dengan kebutuhan dan keinginan warga. maka ketika teknologi internet muncul, warga memiliki aternatif cara untuk mencapatkan informasi sekaligus bereaksi atas informasi yang ia terima. Makin banyaknya pengguna internet membuat citizen journalism berkembang pesat.
Gilmor mengatakan CJ bukanlah konsep sderhana yang dapat diaplikasikan secara sederhana pada seluruh organisasi pemberitaan. CJ memiliki konsep yang kompleks dengan beragam variasi. JD Lasica, senior editor Online Journalism Review mengatakan, ada 6 kategori jurnalisme partisipasi, yaitu:
1. Partisipasi khalayak dalam mainstream media.
Di Indonesia praktik-praktik seperti ini juga telah banyak dilakkan baik di media cetak (suratkabar maupun majalah), media elektronik (radio maupun televise) serta media online. partisipasi ini dapat berbentuk: komentar khalayak (media online biasanya menyediakan ruang untuk berkomentar berdampingan dengan beritanya, radio dan tlevisi biasa menyediakan acara talkshow untuk memberikan kesempatan khalayak menyampaikan komentar); forum diskusi pembaca/khalayak; kolom artikel; juga termasuk foto, video, laporan yang dikirim oleh khalayak; serta bentuk-bentuk kontribusi khalayak lainnya.
2. Berita independen dan situs yang berisi informasi (weblog individual maupun situs dengan tema khusus, misalnya situs yang menyediakan berita kota) .
3. Situs dengan partisipasi penuh, di mana hampir semua beritanya diproduksi olehreporter warga (citizen reporters), seperti OhmyNews di Korea Selatan atau panyingkul (http://www.panyingkul.com) di Makasar Sulawesi Selatan.
4. Collaborate and Contributory media sites.
5. Media kecil lainnya, termasuk milis, email newsletter, dan media digital lainnya.
6. Situs penyiaran personal, yang memublikasikan penyiaran radio maupun TV.
Sementara Steve Outing, senior editor pada the Poynter Institute for Media Studies, mengklasifikasikan CJ ke dalam 11 kategori:
1. CJ yang membuka ruang untuk komentar publik, di mana pembaca atau khalayak bisa bereaksi, memuji, mengkritik, atau menambahkan jenis ini bisa kita kenal sebagai ruang surat pembaca.
2. Menambahkan pendapat masyarakat sebagai bagian dari artikel yang ditulis. Warga diminta untuk ikut menuliskan pengalamannya, pada sebuah topik utama liputan yang dilaporkan jurnalis.
3. Kolaborasi antara jurnalis porfesional dengan nonjurnalis yan gmemiliki kemampuan dalam materi yang dibahas, sebagai bantuan dalam mengarahkan atau memeriksa keakuratan artikel. Terkadang professional nonjurnalis ini dapat juga menjadi contributor tunggal yang menghasilkan artikel tersebut.
4. Bolghouse warga. Melalui blog, orang bisa berbagi cerita tentang dunia, dan bisa menceritakan dunia berdasarkan pengalaman dan sudut pandangnya.
5. Newsroom citizen transparency blogs, merupakan blog yang disediakan sebuah organisasi media sebagai upaya transparansi, di mana pembaca bisa memasukkan keluhan, kritik, atau pujian atas pekerjaan media tersebut.
6. Stand-alone CJ sites, yang melalui proses editing. Sumbangan laporan dari warga, biasanya tentang hal-hal yang sifatnya sangat lokal yang dialami langsung oleh warga. Editor berperan untuk menjaga kualitas laporan, dan mendidik warga (kontributor) tentang topik-topik yang menarik dan layak untuk dilaporkan.
7. Stand-alone CJ sites, yang tidak melalui proses editing.
8. Gabungan stand-alone CJ journalism website dan edisi cetak.
9. Hybrid: Pro+CJ. suatu kerja organisasi media yang menggabungkan pekerjaan jurnalis professional dengan journalis warga. Situs OhmyNews, Radio Elshinta, atau Radio Mara FM bandung termasuk ke dalam kategori ini. dalam OhmyNews, kontribusi berita tidak otomatis diterima sebagai sebuah berita. Editor berperan dalam menilai dan memilih berita yang akan diangkat ke halaman utama.
10. Penggabungan antara jurnalis professional dan jurnalis warga dalam satu atap, di mana website membeli tulisan dari jurnalis professional dan menerima tulisan jurnalis warga.
11. Model Wiki, di mana pembaca adalah juga edior. setiap orang bisa menulis artikel dan setiap orang bisa memberi tambahan atau komentar yang terbit.
Sejarah Jurnalisme Warga
Jurnalisme warga atau citizen journalism mulai berkembang di seluruh dunia sejak kehadiran internet di seluruh dunia. Perkembangan terbesar di bidang komunikasi 40 tahun terakhir adalah penemuan dan pertumbuhan internet. Lahirnya komunikasi interaktif ditandai dengan terjadinya diversifikasi teknologi informasi dengan bergabungnya telepon, radio, komputer, dan televisi menjadi satu, dan menandai teknologi yang disebut dengan internet. Teknologi yang tergolong baru ini membuat sekat antarmanusia semakin tak terlihat seberapa pun jauhnya jarak yang memisahkan. Dalam dunia internet semua hal bisa diperoleh hanya dalam one click way.
Sejarah dan perkembangan citizen journalism di dunia sebenarnya telah berlangsung lama, sekitar dua dekade belakangan. Nicholas Lemann, profesor di Columbia University Graduate School of Journalism, New York City, Amerika Serikat, mencatat, kelahiran jurnalisme publik dimulai melalui gerakan pada Pemilu 1988. Saat itu publik mengalami erosi kepercayaan terhadap media-media mainstream seputar pemilihan presiden AS.
Ada dua hal setidaknya yang memunculkan corak citizen journalism seperti sekarang ini. Pertama, komitmen pada suara-suara publik. Kedua, kemajuan teknologi yang mengubah lansekap modus komunikasi. Sejarah citizen journalism sendiri bisa dilacak sejak konsep public journalism dilontarkan oleh beberapa penggagas, seperti Jay Rozen, Pew Research Center, dan Poynter Institute. Bersama Wichita News, Eagle, Kansas, para penggagas citizen journalism mencobakan konsep public journalism dengan membentuk panel diskusi bagi publik guna mengidentifikasi isu-isu yang dianggap penting bagi publik. (communicare.com, 1 Desember 2007)
Jay Rozen, seorang profesor bidang jurnalistik di New York University (NYU), adalah salah satu pelopor pertama citizen journalism atau  jurnalisme publik. Sejak tahun 1993 hingga 1997, dia memimpin Proyek dalam Kehidupan Publik dan Pers, berdasarkan Knight Foundation di NYU. Dia juga yang menjalankan Press Think weblog.
Bill Gates pernah meramalkan bahwa digitalisasi dalam bidang komunikasi dan informasi pada tahun 1990 akan mematikan surat kabar. Kehadiran situs-situs berita di pertengahan tahun 1990-an dikhawatirkan bisa menjadi ancaman seluruh media massa konvensional, seperti surat kabar, radio, maupun televisi. Akan tetapi, dalam hal kecepatan menyampaikan informasi, konon seluruh jenis media massa terancam oleh kehadiran mailing list atau blog.
Media internet sendiri, sebagai suatu media baru, pada gilirannya juga telah menghadirkan sekian banyak bentuk jurnalisme yang sebelumnya tidak kita kenal. Salah satunya adalah kemunculan “jurnalisme warga”.
Citizen journalism tumbuh subur di di Amerika Serikat dalam waktu enam tahun terakhir yang antara lain dipelopori oleh sejumlah wartawan veteran dan sekolah jurnalistik yang ingin mengeksplorasi partisipasi masyarakat dalam ekosistem media massa. Model jurnalisme ini memiliki banyak nama di berbagai belahan dunia. Antara lain, netizen, partisipatory journalism, dan grassroot journalism.
Kemunculan jurnalisme warga di Indonesia bermula pada masa Orde Baru, saat Soeharto berkuasa, di mana pada saat itu arus informasi dari media massa kepada masyarakat dijaga ketat oleh pemerintah dan aparatnya. Masa Orde Baru yang dikenal dengan sistem pers tertutupnya, memaksa pers untuk lebih mengedepankan agenda kebijakan, khususnya kebijakan eksekutif. Pers lebih banyak memberitakan kebijakan pemerintah. Dominannya penggunaan sumber berita eksekutif menjadikan pemberitaan pers menjadi top down.
Citizen journalism sebagai praktik jurnalisme ala warga, telah lebih dulu hadir dalam media yang lebih tua seperti radio. Citizen journalism dicirikan dengan partisipasi aktif masyarakat dalam proses lahirnya berita. akarnya adalah community based media. Citizen journalism pada radio komunitas adalah journalisme ala warga yang bisa jadi lebih “terjangkau” bagi kebanyakan orang Indonesia.
Di Indonesia, jurnalisme ala warga telah hadir dalam keseharian melalui acara-acara talkshow di radio khususnya sejak awal tahun 90-an. Karena dilarang pemerintah menyiarkan program siaran berita, beberapa stasiun radio mengusung format siaran informasi. Pada program siarannya, stasiun radio tersebut (diantaranya adalah Radio Mara 106,7 FM di Bandung yang menjadi pionir siaran seperti ini) menyiarkan acara talkshow yang mengajak pendengar untuk aktif berpartisipasi melalui telepon untuk menyampaikan informasi maupun pendapat tentang sebuah topik hangat. Pada masa orde baru acara siaran tersebut efektif menjadi saluran khalayak menyampaikan keluhan terhadap kelemahan atau kezaliman penguasa.
Setelah UU Penyiaran No.32 Tahun 2002, kehadiran community based media di bidang penyiaran pun akhirnya terakomodasi. kehadiran radio dan televisi komunitas menjadi legal. legalitas ini membuat peluang jurnalisme ala warga menjadi semakin terbuka. melalui radio atau televise komunitas, warga bisa bertukar informasi atau pendapat, tentang hal-hal terdekat dengan keseharian mereka, yang biasanya luput diliput oleh media-media besar. Pada radio siaran, biaya peralatan, operasional siaran dan pesawat penerima yang relative murah—bahkan sangat murah bila dibandingkan operasional tv atau akses ke internet—peluang jurnalisme ala warga menjadi semakin besar untuk bisa dilakukan oleh lebih banyak orang termasuk di pedesaan.
Sejumlah mailing list menjadi pelarian warga yang mampu mengakses internet akibat media massa konvensional saat itu tidak ada yang berani mengkritik rezim. Kehadiran blog ini baru dianggap sebagai ancaman karena sifat interaktifnya, yang tidak mungkin dilakukan media massa konvensional.
“Menurut saya, jurnalisme warga sudah mulai muncul lewat milis. Milis itu merupakan saluran dari jurnalisme warga. Dan itu di beberapa diskusi mereka, saya sempat beberapa kali melihat milis-milis itu juga di-upload oleh media massa cetak pun elektronik. Tentu dengan kemasan lain, namun idenya dari diskusi-diskusi tersebut,” kata Septiawan Santana.
Pakem-Pakem dalam Jurnalisme Warga
Meski citizen journalist memiliki kebebasan dalam menyampaikan informasi, namun dia membawa ruang hukum komunikasi massa atau hukum informasi atau hukum pers yang berlaku di Indonesia. Jadi dia dibebani oleh itu. Menjaga informasi bukan urusan jurnalistik. Pun di media massa tidak ada kata “menjaga”. Menjaga informasi—mana yang harus disiarkan atau tidak—sudah bukan ranah jurnalistik Indonesia karena sudah ada batasan-batasan hukum. Bahkan di Indonesia, hukum pers bukan dibebani oleh hukum pers semata, tapi hukum-hukum lain. Undang-undang dan KUHP berisi pasal-pasal yang sebenarnya membebani pers.
Johnny Tarigan, Kepala Biro Antara Bandung berpendapat, “Proses pendewasaan masyarakat di sana, tinggal bagaimana masyarakat  mengantisipasi dan menerima mencerna mana yang bagus mana yang tidak bagus karena sama seperti informasi yang beredar sekarang ini ada 100 persen benar, ada 100 persen mempengaruhi, ada juga persentase yang kadang-kadang kurang baik dicerna masyarakat jadi tergantung kesiapan masyarakat menerima itu.”
Prinsip dasar citizen journalism adalah :
  • Pewarta (reporternya) adalah pembaca, khalayak ramai, siapapun yang mempunyai informasi atas sesuatu,
  • Siapa pun dapat memberikan komentar, koreksi, klarifikasi atas berita yang diterbitkan,
  • Biasanya non-profit oriented,
  • Masih didominasi oleh media-media online,
  • Memiliki komunitas-komunitas yang sering melakukan gathering,
  • Walaupun ada kritik, tidak ada persaingan antarpenulis (reporter),
  • Tidak membedakan pewarta profesional atau amatir,
  • Tidak ada seleksi ketat terhadap berita-beritanya,
  • Ada yang dikelola secara profesional ada pula yang dikelola secara amatir,
  • pembaca dapat langsung berinteraksi dengan penulisnya melalui kotak komentar atau e-mail.
Blogger senior dan praktisi komunikasi Wimar Witoelar pernah mengungkapkan, blog boleh dibilang bersifat komunal. Di dunia blog, transparansi dan akuntabilitas menjadi kata kunci. Seorang penulis blog tidak lagi dianggap yang paling tahu. Pendapat-pendapatnya bisa dikritisi oleh siapa pun lantaran sifat blog yang transparan. Inilah paradigma baru dari blog. Melalui blog akan tercipta citizen journalism, di mana setiap orang bebas berpendapat.
Karena itu, menjadi citizen journalist juga ada etikanya. Etika citizen journalism kurang lebih sama dengan etika menulis di media online. Di antaranya sebagai berikut:
  • Tidak menyebarkan berita bohong
  • Tidak mencemarkan nama baik
  • Tidak memicu konflik SARA
  • Tidak memuat konten pornografi

Pengalaman dari Negara Lain
Perkembangan teknologi dan informasi seperti perkembangan internet telah menjadikan model jurnalisme ini berkembang sedemekian pesat. Hampir setiap orang memiliki website minimal  yang di dalamnya dapat memuat laporan, berita, dan aktivitas maupun pembahasan akan isu tertentu. Alasannya sangat sederhana kenapa media ini (blogs) lebih disenangi karena selain gratis, blog dapat dengan mudah mendekatkan antara berita yang ditampilkan dengan pembacanya, sehingga mempermudah dalam memberikan tanggapan, koreksi, maupun tambahan informasi melalui kotak komentar yang biasa terdapat di bawah posting. Memberikan ruang yang lebih kepada pembaca untuk ambil bagian menjadi citizen journalism pada media tersebut. (Blog Rizky Wahyuni, 11 Desember 2007)
Blog ataupun situs lain yang menawarkan informasi berbeda dengan media mainstream, yang telah memberi kemudahan untuk menawarkan informasi kepada publik. Jika saja informasi semacam ini bisa bermanfaat untuk pembaca, mungkin inilah yang namanya citizen journalism. (Matabaca, September 2007)
Kapan citizen journalism bangkit? Banyak kalangan menilai peristiwa bom yang mengguncang London, Inggris, 7 Juli 2005 lah sebagai tonggaknya. Tragedi yang menewaskan lebih dari 50 orang itu, menginspirasikan Tim Porter untuk menuangkan unek-unek di situs pribadinya, First Draft. Ia berselancar di dunia maya sesaat setelah kejadian mencari informasi lebih lanjut setelah menjemput istrinya yang berada tak jauh dari lokasi kejadian.
Porter dengan cepat menemukan informasi terkini tentang ledakan tersebut dari sebuah situs pribadi. Di sisi lain media konvensional seperti Radio, TV atau situs dot.com bahkan belum menyiarkan berita tersebut. Apalagi koran, butuh satu hari baru dapat dibaca oleh orang banyak.
Jeff Jarvis dan Steve Yelvington lah, dua warga yang berada paling dekat dengan pusat ledakan. Keduanya mengirimkan hasil rekaman video kepanikan orang di dalam stasiun kereta api bawah tanah ke situs pribadi. Gambar tersebut hasil shootingan Adam Stacey, seorang penumpang dengan kamera handphonenya. Beberapa menit kemudian, gambar tersebut telah disiarkan televisi BBC.
Perkembangan citizen journalism di Indonesia masih belum lama. Yang mengawali mungkin adalah detik.com, yang menampilkan berita-berita segar dan tidak terkungkung. Akan tetapi situs seperti detik.com dibuat oleh satu pihak untuk dibaca banyak orang. Berbeda dengan blog yang berbeda-beda, yang disiapkan oleh banyak orang untuk dibaca orang banyak pula. (perspektifonline.com)
Sedangkan citizen journalism yang paling fenomenal di dunia saat ini adalah situs Oh My News (OMN). Berkantor pusat di Seoul, Korea Selatan, situs ini pertama terbit 22 Februari 2000 dengan moto “Setiap Warga adalah Seorang Reporter”. Pemunculan Oh My News juga dilatar belakangi pemilihan presiden korea selatan. Hingga kini OMN telah memiliki 60 ribu reporter seluruh dunia 80% berasal dari citizen journalism dan hanya 40 orang berasal dari ”wartawan tradisional”.

Perbandingan dengan Indonesia
Perkembangan juunalisme warga di Indonesia sudah cukup bagus secara tematik. Semua peristiwa diliput oleh orang biasa, bisa dijadikan sebuah isu di masyarakat yang cukup menarik. Di luar negeri, ada seorang wartawan Amerika datang ke liputan Amerika menyerang Irak. Ide tersebut datang dari jurnalisme warga atau citizen journalism.
“Jurnalisme warga kalau di luar negeri itu sampai ada seorang pengelola blog menghasilkan tulisan hingga ribuan. Jadi, dia didanai oleh pembaca blog-nya,” Septiawan.
Namun perkembangan citizen journalism di Indonesia mungkin belum sampai seperti di luar negeri. Isu-isu atau pemikiran yang muncul  bagus-bagus. Namun blog belum sampai ke tahapan meraih wacana publik seperti yang dimiliki oleh media massa. Media jurnalisme warga dan media massa tingkatannya masih jauh.
Di Indonesia, citizen journalism baru berkembang sejak 2005, namun telah banyak media online di Indonesia menerapkan citizen journalism di antaranya panyingkul.com, halamansatu.net, wikimu.com, kabarindonesia, greenpressnetwork, dsb. Bahkan media-media cetak dan elektronik nasional pun sekarang telah menerapkan sistem citizen journalism, sebut saja Republika yang telah menerapkan citizen journalism sejak 7 Januari 2007 atau radio Elshinta yang sejak tahun 2000 telah menerapkan citizen journalism dan memiliki kurang lebih 100.000 citizen reporter. Bahkan saat browsing tentang citizen journalism penulis menemukan salah satu blogs yang menerapkan citizen journalism di kota Pontianak.

Tantangan di Indonesia
Saat ini, pers berada dalam situasi di mana pengertian wartawan dan media massa mengalami pergeseran penting sebagai akibat dari berkembangnya dual hal, yakni perkembangan jurnalistik dan perkembangan media. Dunia jurnalistik kini telah mengalami perubahan.
Setiap warga, kini, bisa melaporkan peristiwa kepada media.  Tren munculnya jurnalisme warga semacam ini tampaknya semakin kuat. Kehadiran jurnalisme warga ini juga telah menjadi tantangan bagi jenis jurnalisme mapan, yang diterapkan media-media konvensional, seperti suratkabar, radio, dan televisi.
Jumlah informasi yang ditawarkan citizen journalism akan lebih banyak dan beragam sementara mainstream media terikat dengan jumlah halaman, durasi penayangan, atau durasi penyiaran. Pemilihan terhadap peristiwa atau isu tertentu, mutlak dilakukan karena terbatasnya kemampuan wartawan mainstream media menjangkau semua lokasi pusat berita. Sementara citizen journalism menawarkan perputaran tanpa batas. Tak ada halaman yang mengikat, atau pun durasi yang memusingkan kepala redaksi. Pemberitaannya dapat diakses di masa aja dan  kapan saja.
Pada sisi lain, kondisi masyarakat kita yang kurang menyadari terhadap konsep dalam melakukan lompatan dan percepatan penerapan teknologi informasi tersebut membuat potensi media belum secara optimal berfungsi. Bukan hanya soal minimnya penetrasi infrastruktur internet ke lapisan masyarakat, melainkan juga disebabkan oleh ketidakmapuan sumber daya masyarakat kita dalam mengadaptasi perubahan yang cepat.
“Dari sisi efek terhadap keberlangsungan sebuah proses pelaporan berita dalam blog, masyarakat belum begitu bagus—dalam arti keefektivitasan berita itu terasa—tapi dalam sebuah proses komunikasi massa, isu yang dimunculkan oleh jurnalisme warga lewat blog itu sudah mulai dirasakan terutama ketika sudah diakukan oleh media massa,” kata Septiawan.
Pakar ilmu komunikasi Universitas Indonesia Dedy Nur Hidayat tidak melihat kehadiran blog sebagai ancaman serius bagi media massa kini. Juga belum bisa disebut tantangan konvensional yang sekarang ini ada. Blog, situs pribadi atau mailing list hanya efektif dalam kasus tertentu untuk sumber alternatif yang luput dari pengamatan media massa.
Hal senada diungkapkan Septiawan Santana, “Kalau pesaingan, saya kira, bukan wilayahnya. Itu bukan soal pertempuran karena masing-masing punya racikan sendiri, punya produk, punya kualitas, dan punya karakteristik tersendiri. Apakah hasil dari jurnalisme warga lebih bagus daripada hasil jurnalisme media massa yang terlembaga? Belum tentu. Tapi juga apakah produk dari media massa lebih bagus dari jurnalisme warga? Belum tentu juga.  Masing-masing punya karakter.”
Citizen journalism tidak hadir sebagai saingan, tapi sebagai alternatif. yang memperkaya pilihan dan referensi. Berita tidak lagi dilihat sebagai produk yang didominasi wartawan dan institusi pers. Masyarakat biasa seharusnya masuk dalam ekosistem media sebagai unsur yang aktif berinteraksi.
Johnny berpendapat bahwa adanya citizen journalism ini bukanlah ancaman bagi media massa konvensional. Media massa konvensional  kita beradaptasi terhadap situasi.  Masyarakat harus melihat secara kredibilitas berita itu. Corak baru media massa ini menambah khasanah terhadap jurnalisme yang ada selama ini yang mungkin dianggap kaku.
“Hal itu wajar karena modernisasi informasi itu memang nanti akan menjadi paperless. Nanti tidak akan lagi menggunakan kertas sehingga informasi itu sudah tercakup di dalam blog-blog itu nanti sehingga melalui handphone, kita dapat mengakses semua berita, tanpa mendengarkan radio, tanpa membaca di koran, ya kadang2 kita hanya selintas di tc dan kadang2 itu juga gak perlu jadi memang era multidimensi dari informasi itu nanti lewat blog , langsung ke hp kita,” kata Johnny.
Johnny menambahkan, hal itu tidak menjadi ancaman bagi Antara karena kantor berita ini akan tetap akan menjadi sumber  inspirasi untuk semua media. “Jadi itulah pedoman kita, we go on same right direction, but we have diferrent way. Jadi, nggak mungkin berbenturan.”
Dekan Fikom Unpad Deddy Mulyana berpendapat, “Saya kehadiran jurnalisme warga ini akan mengurangi eksistensi media massa karena masing-masing punya keistimewan, keunikan, karakteristik sendiri-sendiri. Mungkin untuk sementara waktu terjadi booming jurnalisme warga yang berakibat pada penurunan keinginan warga untuk berlangganan, tapi saya rasa itu hanya untuk beberapa waktu saja. Pada akhirnya masing-masing punya kelebihan.”
Kelemahan Citizen Journalism
Masalah yang dihadapi dari munculnya citizen journalism adalah citizen journalist hanya eksis di beberapa blog saja. Kenyataannya bisa dilihat dari empat kategori citizen journalism: 1) citizen journalist adalah orang yang memiliki kamera digital atau kamera ponsel dan menyunting karya mereka, seperti peristiwa utama (tsunami, bom di London) atau kecelakaan mobil, ke organisasi berita; 2) citizen journalist adalah orang yang ingin menemukan komunitas lokal atau cybercommunity dan memproduksi tulisan tentang komunitasnya; 3) citizen journalist adalah orang yang mengkritisi dan mengampanyekan sebab-sebab politik; 4) citizen journalism adalah orang yang berpartisipasi ke dalam sebuah “percakapan” dengan para jurnalis profesional dan para pemilik blog.
Tidak ada yang meragukan bahwa sesuatu yang baru telah muncul dan kantor berita tradisional harus setuju dengan citizen journalist. Akan tetapi, esensi citizen journalism telah menggantikan jurnalisme tradisional yang dianggap mati.
Para citizen journalist adalah bagian dari keluarga. Dan perbedaannya terletak pada sebutan yang diberikan kepada mereka, yaitu “intelegensi kolektif”. Bagi seorang jurnalis, kantor berita adalah ekspresi intelegensi kolektif dengan hubungan horizontal antara kolega, tetapu juga memiliki hubungan vertikal dengan editor. (editorsweblog.org, 29 Desember 2005)
Ada juga yang mempertanyakan bagaimana mempertanggungjawabkan kebenaran informasi yang ditulis oleh orang biasa? Bagaimana jurnalisme publik bisa dipercaya? Bagaimana mengelola kredibilitas? Terkadang kita tidak bisa memastikan kebenaran informasi yang berasal dari citizen journalist. Kita tidak bisa percaya begitu saja kepada karya mereka. Ada fungsi jurnalisme yang hilang dan konsep citizen journalis, yaitu verifikasi. Siapa saja bisa mengirmkan karya jurnalistiknya tanpa melalui proses verifikasi.
Kelebihan Citizen Journalism
Siapa yang diuntungkan? Banyak orang yang merasa tidak bisa menggunakan blog, karena mereka merasa tidak akrab dengan Informasi Teknologi (IT).  Padahal, isi dari blog tidak adanya hubungannya dnegan IT. Setiap orang dapat menulis apapun. Inilah hal yang penting bagi masyarakat, bahwa mereka disajikan beragam piliham untuk dipiih. Di sini juga lah letak keindahan citizen journalism, semuanya dikembalikan pada masyarakat.
Perkembangan teknologi informasi juga mengubah hakekat media. Dengan internet, kini berkembang situs-situs lembaga maupun pribadi. Selain itu, berkembang juga weblog atau blog, di mana setiap orang bisa melaporkan peristiwa di sekelilingnya, atau paling tidak, melaporkan gagasannya kepada publik. Dengan demikian, kalau dulu media didirikan oleh lembaga, atau individu yang mempunyai uang dan kekuasaan (power), kini setiap individu bisa membuat media. Karena itu, di zaman internet ini, setiap individu juga adalah media.
Kalau ditanya siapa secara politis siapa yang dapat keuntungan dari blog, maka keuntungan ini bisa kita kategorikan menjadi 3 hal: finansial, sikap politis, dan keuntungan dari sisi negatif. Untuk keuntungan finansial mungkin agak sulit karena blog pada dasarnya tidak ada aspek komersil, akan tetapi keuntungan itu dalam bentuk lain yaitu publisitas. Kalau keuntungan dari sisi negatif, maksudnya adalah orang-orang yang ingin mengacau, bisa saja melakukan hal tersbut.
Kadang-kadang ada orang yang menulis di blognya dan mengutip blog orang lain tanpa menyebut sumber kutipannya. Bagaimana seharusnya sikap terhadap hal seperti ini? Bagi WW di dalam blog ada “fair exchange”, kita bebas mengutip blog orang lain, dan orang lain bebas mengutip blog kita. Apabila tidak disebut, tidak masalah juga. Kalau nama kita disebut, ya itu keuntungan buat kita. (unitedcolorsofme.com, 11 Oktober 2006)
Sumber:
1. Kumpulan Tulisan dalam Mengamati Fenomena Citizen Journalism
  • “Komunikasi di Era Digital, Paradigma Baru Bermedia” oleh Haryati
  • Citizen Journalism sebagai Ruang Publik (Studi Literatur untuk Menempatkan Citizen Journalism berdasarkan Teori Jurnalistik dan Maistream Media) oleh Dida Dirgahayu
  • Citizen Journalism sebagai Media Pemberdayaan Warga” oleh Pandan Yudhapramesthi
2. Narasumber
  • Prof. Deddy Mulyana, Pakar Komunikasi dan Dekan Fikom Unpad
  • Septiawan Santana, Akademisi dan Penulis Buku
  • Johnny Tarigan, Kepala Biro Kantor Berita Antara Bandung
  • Wimar Witoelar, blogger dan pengamat media
  • Wage Nugraha. blogger www.validasi.wordpress.     

SEJARAH JURNALISTIK

  1. I. Pengertian Jurnalistik
Jurnalistik atau Jurnalisme berasal dari kata journal, artinya catatan harian, atau catatan mengenai kejadian sehari-hari, atau bisa juga berarti suratkabar. Journal berasal dari perkataan latin diurnalis, yaitu orang yang melakukan pekerjaan jurnalistik.
Jurnalisme dapat dikatakan “coretan pertama dalam sejarah”. Meskipun berita seringkali ditulis dalam batas waktu terakhir, tetapi biasanya disunting sebelum diterbitkan.
Jurnalis seringkali berinteraksi dengan sumber yang kadangkala melibatkan konfidensialitas. Banyak pemerintahan Barat menjamin kebebasan dalam pers.
Aktivitas utama dalam jurnalisme adalah pelaporan kejadian dengan menyatakan siapa, apa, kapan, di mana, mengapa dan bagaimana (dalam bahasa Inggris dikenal dengan 5W+1H) dan juga menjelaskan kepentingan dan akibat dari kejadian atau trend. Jurnalisme meliputi beberapa media: koran, televisi, radio, majalah dan internet sebagai pendatang baru.
Di Indonesia, istilah ini dulu dikenal dengan publisistik. Dua istilah ini tadinya biasa dipertukarkan, hanya berbeda asalnya. Beberapa kampus di Indonesia sempat menggunakannya karena berkiblat kepada Eropa. Seiring waktu, istilah jurnalistik muncul dari Amerika Serikat dan menggantikan publisistik dengan jurnalistik. Publisistik juga digunakan untuk membahas Ilmu Komunikasi.
Definisi jurnalistik sangat banyak. Namun pada hakekatnya sama, para tokoh komunikasi atau tokoh jurnalistik mendefinisikan berbeda-beda. Jurnalistik secara harfiah, jurnalistik (journalistic) artinya kewartawanan atau hal-ihwal pemberitaan. Kata dasarnya “jurnal” (journal), artinya laporan atau catatan, atau “jour” dalam bahasa Prancis yang berarti “hari” (day) atau “catatan harian” (diary). Dalam bahasa Belanda journalistiek artinya penyiaran catatan harian.
Istilah jurnalistik erat kaitannya dengan istilah pers dan komunikasi massa. Jurnalistik adalah seperangkat atau suatu alat madia massa. Pengertian jurnalistik dari berbagai literature dapat dikaji definisi jurnalistik yang jumlahnya begitu banyak. Namun jurnalistik mempunyai fungsi sebagai pengelolaan laporan harian yang menarik minat khalayak, mulai dari peliputan sampai penyebarannya kepada masyarakat mengenai apa saja yang terjadi di dunia. Apapun yang terjadi baik peristiwa factual (fact) atau pendapat seseorang (opini), untuk menjadi sebuah berita kepada khalayak.
Jurnalistik adalah suatu kegiatan yang berhubungan dengan pencatatan atau pelaopran setiap hari. Jadi jurnalistik bukan pers, bukan media massa. Menurut kamus, jurnalistik diartikan sebagai kegiatan untuk menyiapkan, mengedit, dan menulis surat kabar, majalah, atau berkala lainnya.
Ruang lingkup jurnalistik sama saja dengan ruang lingkup pers. Dalam garis besar jurnalistik Palapah dan Syamsudin dalam diktat membagi ruang lingkup jurnalistik ke dalam dua bagian, yaitu : news dan views (Diktat “Dasar-dasar Jurnalistik”).
News dapat dibagi menjadi menjadi dua bagian besar, yaitu :
1. Straight news, yang terdiri dari :
a. Matter of fact news
b. Interpretative report
c. Reportage
2. Feature news, yang terdiri dari :
a. Human interest features
b. Historical features
c. Biographical and personality features
d. Travel features
Views dapat dibagi kedalam beberapa bagian yaitu :
1. Editorial
2. Special article
3. Column
4. Feature article
3. Sejarah Jurnalistik












  1. II. Sejarah Jurnalistik
Sejarah yang pasti tentang jurnalistik tidak begitu jelas sumbernya, namun yang pasti jurnaliatik pada dasarnya sama yaitu diartikan sebagai laporan. Dan dari pengertian ada beberapa versi. Terdapat 3 versi yang di sebut – sebut sebagai jurnalis / wartawan pertama.
Suhandang dalam bukunya  menerangkan sejarah Nabi Nuh teerutama dalam menyinggung tentang kejurnalistikan. Dikisahkan bahwa pada waktu itu sebelum Allah SWT menurunkan banjir yang sangat hebat kepada kaum yang kafir, maka datanglah malaikat utusan Allah SWT kepada Nabi Nuh agar ia memberitahukan cara membuat kapal sampai selesai. Kapal yang akan dibuatnya sebagai alat untuk evakuasi Nabi Nuh beserta sanak keluarganya, seluruh pengikutnya yang shaleh dan segala macam hewan masing-masing satu pasang. Tidak lama kamudian, seusainya Nabi Nuh membuat kapal, hujan lebat pun turun berhari-hari tiada hentinya. Demikian pula angin dan badai tiada henti, menghancurkan segala apa yang ada di dunia kecuali kapal Nabi Nuh. Dunia pun dengan cepat menjadi lautan yang sangat besar dan luas. Saat itu Nabi Nuh bersama oranng-orang yang beriman lainnya dan hewan-hewan itu telah naik kapal, dan berlayar dengan selamat diatas gelombang lautan banjir yang sangat dahsyat.
Hari larut berganti malam, hingga hari berganti hari, minggu berganti minggu. Namun air tetap menggenang dalam, seakan-akan tidak berubah sejak semula. Sementara itu Nabi Nuh beserta lainnya yang ada dikapal mulai khawatir dan gelisah karena persediaan makanan mulai menipis. Masing-masing penumpang pun mulai bertanya-tanya, apakah air bah itu memang tidak berubah atau bagaimana? Hanya kepastian tentang hal itu saja rupanya yang bisa menetramkan karisuan hati mereka. Dengan menngetahui situasi dan kondisi itu mereka mengharapkan dapat memperoleh landasan berfikir untuk melakukan tindak lanjut dalam menghadapi penderitaanya, terutama dalam melakukan penghematan yang cermat.
Guna memenuhi keperluan dan keinginan para penumpang kapalnya itu Nabi Nuh mengutus seekor burung merpati ke luar kapal untuk meneliti keadaan air dan kemungkinan adanya makanan. Setelah beberapa lama burung itu terbang mengamati keadaan air, dan kian kemari mencari makanan, tetapi sia-sia belaka. Burung merpati itu hanya melihat daun dan ranting pohon zaitun yang tampak muncul ke permukaan air. Ranting itu pun di patuknya dan dibawanya pulang ke kapal. Atas datangnya kembali burung itu dengan membawa ranting zaitun. Nabi Nuh mengambil kesimpulan bahwa air bah sudah mulai surut, namun seluruh permukaan bumi masih tertutup air, sehingga burung itu pun tidak menemukan tempat untuk istirahat demikianlah kabar dan berita itu disampaikan kepada seluruh anggota penumpangnya.
Atas dasar fakta tersebut, para ahli sejarah menamakan Nabi Nuh sebagai seorang pencari berita dan penyiar kabar (wartawan) yang pertama kali di dunia. Bahkan sejalan dengan teknik-teknik dan caranya mencari serta menyiarkan kabar (warta berita di zaman sekarang dengan lembaga kantor beritannya). Mereka menunjukan bahwa sesungguhnya kantor berita yang pertama di dunia adalah Kapal Nabi Nuh.
Berdasarkan catatan sejarah jurnalistik, awal mula lahirnya jurnalistik dimulai sekitar 3000 tahun silam. Saat itu Firaun, Amenhotep III, di Mesir mengirimkan ratusan pesan kepada para perwiranya yang tersebar di berbagai provinsi untuk mengabarkan apa yang terjadi di ibukota. Inilah yang menjadi dasar konsep jurnalistik, yaitu menyampaikan berbagai pesan, informasi, atau berita.
Menurut Onong Uchjana Effendy, kegiatan jurnalistik sudah berlangsung sangat tua, dimulai zaman Romawi Kuno ketika Julius Caesar berkuasa. Waktu itu ia mengeluarkan peraturan agar kegiatan-kegiatan Senat setiap hari diumumkan kepada khalayak dengan ditempel pada semacam papan pengumuman yang disebut dengan Acta Diurna.
Berbeda dengan media berta saat ini yang ‘mendatangi’ pembacanya, pada waktu itu pembaca yang datang kepada media berita tersebut. Sebagian khalayak yang merupakan tuan tanah/hartawan yang ingin mengetahui informasi menyuruh budak-budaknya yang bisa membaca dan menulis untuk mencatat segala sesuatu yang terdapat pada Acta Diurna. Dengan perantaraan para pencatat yang disebut Diurnarii para tuan tanah dan hartawan tadi mendapatkan berita-berita tentang Senat.
Perkembangan selanjutnya pada Diurnarii tidak terbatas kepada para budak saja, tetapi juga orang bebas yang ingin menjual catatan harian kepada siapa saja yang memerlukannya. Beritanya pun bukan saja kegiatan senat, tetapi juga hal-hal yang menyangkut kepentingan umum dan menarik khalayak. Akibatnya terjadilah persaingan di antara Diurnarii untuk mencari berita dengan menelusuri kota Roma, bahkan sampai keluar kota itu.
Persaingan itu kemudian menimbulkan korban pertama dalam sejarah jurnalistik. Seorang Diurnarii bernama Julius Rusticus dihukum gantung atas tuduhan menyiarkan berita yang belum boleh disiarkan (masih rahasia). Pada kasus itu terlihat bahwa kegiatan jurnalistik di zaman Romawi Kuno hanya mengelola hal-hal yang sifatnya informasi saja.
Tetapi kegiatan jurnalistik tidak terus berkembang sejak zaman Romawi itu, karena setelah Kerajaan Romawi runtuh, kegiatan jurnalistik sempat mengalami kevakuman, terutama ketka Eropa masih dalam masa kegelapan (dark ages). Pada masa itu jurnalistik menghilang.
Surat kabar pertama kali terbit di Cina tahun 911, yaitu Kin Pau. Surat Kabar ini milik pemerintah ketika zaman Kaisar Quang Soo. Tidak berbeda dengan di Jaman Caesar, Kin Pau berisi keputusan rapat, hasil musyawarah dan berbagai informasi dari Istana.
Di Eropa tidak jelas siapa pelopor pertamanya. Namun, padi 1605, Abraham Verhoehn di Antwerpen Belgia mendapat izin mencetak Nieuwe Tihdininghen. Akhirnya, pada 1617, selebaran ini dapat  terbit 8 hingga 9 hari sekali.
Beranjak ke Jerman, di tahun 1609, terbitlah surat kabar pertama bernama Avisa Relation Order Zeitung. Pada 1618, muncul surat kabar tertua di Belanda bernama Coyrante uytItalien en Duytschland. Surat kabar ini diterbitkan oleh Caspar VanHilten di Amsterdam. Kemudian surat kabar mulai bermunculan di Perancis tahun 1631, di Itali tahun 1636 dan Curant of General newsterbit, surat kabar pertama di Inggris yang terbit tahun 1662.
Di Amerika Serikat ilmu persuratkabaran mulai berkembang sejak tahun 1690 M dengan istilah journalism dan saat itu telah terbit surat kabar dalam bentuk yang modern, Publick Occurences Both Foreign and Domestick, di Boston yang dimotori oleh Benjamin Harris (Brend D Ruben, 1992: 22).
Pada abad ke-17 John Milton memimpin perjuangan kebebasan menyatakan pendapat di Inggris yang terkenal dengan Areopagitica, A Defence of Unlicenced Printing. Sejak saat itu jurnalistik bukan saja menyiarkan berita (to inform), tetapi juga mempengaruhi pemerintah dan masyarakat (to influence). Perjuangan John Milton kemudian diikuti oleh John Erskine pada abad ke-18 dengan karyanya yang berjudul “The Right of Man”. Pada abad ke-18 ini pula lahir sistem pers liberal mengantikan sistem pers otoriter.
Di Universitas Bazel, Swiss jurnalistik untuk pertama kali dikaji secara akademis oleh Karl Bucher (1847 – 1930) dan Max Weber (1864 – 1920) dengan nama Zeitungskunde pada tahun 1884 M. Sedangkan di Amerika mulai dibuka School of Journalism di Columbia University pada tahun   1912 M/1913 M dengan penggagasnya bernama Joseph Pulitzer (1847 -  1911).
Sepanjang tahun 1960-an di Amerika Serikat muncul para perintis jurnalisme baru yang merasa bosan dengan tatakerja jurnalisme lama yang dianggap kaku dan membatasi gerak wartawan pada tehnik penulisan dan bentuk laporan berita. Mereka melakukan inovasi dalam penyajian dan peliputan berita yang lebih dalam dan menyeluruh. Pada era jurnalisme baru saat ini para wartawan dapat berfungsi menciptakan opini public dan meredam konflik yang terjadi di tengah masyarakat.
  1. III. Sejarah Jurnalistik di Indonesia
Di Indonesia sendiri, kegiatan dunia jurnalistik sudah ada sejak zaman penjajahan Belanda. Pada masa-masa sebelum kemerdekaan, jurnalistik malah dipakai sebagai media propaganda yang sangat efektif dan intelek. ”Pertempuran” ide atau gagasan lebih leluasa disampaikan secara tertulis melalui media cetak.
Sejak tahun 1930-an sampai 1960-an muncul berbagai terbitan surat kabar dan majalah, seperti Pujangga Baru, Suara Umum, Pewarta Deli, Wasita, Mimbar Indonesia, Suara Umum, Bintang Timur, Berita Indonesia, Sinar Harapan, Warta Bakti, Harian Rakyat, dan masih banyak lagi.
Sekarang, perkembangan  dunia jurnalistik semakin maju dan modern. Surat kabar dan majalah bersaing dengan media elektronik, seperti televisi dan internet. Akses informasi media elektronik tersebut bisa lebih cepat dibanding surat kabar. Malah, televisi atau radio bisa menyiarkan informasi atau berita tentang peristiwa yang terjadi secara langsung. Hal ini sulit dilakukan oleh media cetak.
Beberapa tokoh jurnalistik pun memiliki peran terhadap perkembangan jurnalistik Indonesia. Setidaknya kita mengenal nama Mochtar Lubis. Dia seorang sastrawan sekaligus wartawan senior. Sutan Takdir Alisjahbana yang pernah menjadi kepala redaksi Balai Pustaka dan pimpinan majalah Pujangga Baru.
Taufiq Ismail yang menggagas majalah Horison, Adinegoro yang pernah sekolah jurnalistik di Jerman dan menjadi Pemred Pewarta Deli. Sutomo yang pernah menerbitkan majalah Suluh Indonesia, Suluh Rakyat Indonesia, dan harian Suara Umum. Rosihan Anwar yang merupakan wartawan dan penulis senior dan produktif sampai sekarang.
Pada masa pendudukan Jepang mengambil alih kekuasaan, koran-koran ini dilarang. Akan tetapi pada akhirnya ada lima media yang mendapat izin terbit: Asia Raja, Tjahaja, Sinar Baru, Sinar Matahari, dan Suara Asia.
Kemerdekaan Indonesia membawa berkah bagi jurnalisme. Pemerintah Indonesia menggunakan Radio Republik Indonesia sebagai media komunikasi. Menjelang penyelenggaraan Asian Games IV, pemerintah memasukkan proyek televisi. Sejak tahun 1962 inilah Televisi Republik Indonesia muncul dengan teknologi layar hitam putih.
Masa kekuasaan presiden Soeharto, banyak terjadi pembreidelan media massa. Kasus Harian Indonesia Raya dan Majalah Tempo merupakan dua contoh kentara dalam sensor kekuasaan ini. Kontrol ini dipegang melalui Departemen Penerangan dan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI). Hal inilah yang kemudian memunculkan Aliansi Jurnalis Independen yang mendeklarasikan diri di Wisma Tempo Sirna Galih, Jawa Barat. Beberapa aktivisnya dimasukkan ke penjara.
Titik kebebasan pers mulai terasa lagi saat BJ Habibie menggantikan Soeharto. Banyak media massa yang muncul kemudian dan PWI tidak lagi menjadi satu-satunya organisasi profesi.
Seperti juga di belahan dunia lain, pers Indonesia diwarnai dengan aksi pembungkaman hingga pembredelan. Haryadi Suadi mencatat, pemberedelan pertama sejak kemerdekaan terjadi pada akhir 1940-an. Tercatat beberapa koran dari pihak Front Demokrasi Rakyat (FDR) yang dianggap berhaluan kiri seperti Patriot, Buruh, dan Suara Ibu Kota dibredel pemerintah. Sebaliknya, pihak FDR membalas dengan membungkam koran Api Rakjat yang menyuarakan kepentingan Front Nasional. Sementara itu pihak militer pun telah memberedel Suara Rakjat dengan alasan terlalu banyak mengkritik pihaknya.
Jurnalisme kuning pun sempat mewarnai dunia pers Indonesia, terutama setelah Soeharto lengser dari kursi presiden. Judul dan berita yang bombastis mewarnai halaman-halaman muka koran-koran dan majalah-majalah baru. Namun tampaknya, jurnalisme kuning di Indonesia belum sepenuhnya pudar. Terbukti hingga saat ini masih ada koran-koran yang masih menyuguhkan pemberitaan sensasional semacam itu.

Lintas Komunitas Ikuti Pelatihan Jurnalistik di Tompaso Baru

Tompaso Baru, Suara Komunitas - Pelatihan Jurnalistik yang digagas oleh Jaringan Radio Komunitas (JRK) Sulawesi Utara dan Radio Komunitas Noostra FM Tompaso Baru diikuti oleh beragam komunitas dari berbagai kalangan di masyarakat. Peserta terlihat antusias mengikuti pelatihan yang digelar di Desa Pinaesaan, Tompaso baru, Minahasa Selatan, Jumat hingga Sabtu, 11-12 November 2011.
Pelibatan peserta dari kalangan Pemuda, Remaja dan Anak-anak berlangsung pada hari pertama. Mereka disuguhi jurnalistik cetak dan Majalah Dinding (Mading). Setelah diperkenalkan teknik 5W+1H, peserta dilatih memilah-milah berita sesuai isu yang dibahas bersama melalui Focus Group Discusion (FGD). Pada sesi ini penggalian ide dari peserta disesuaikan dengan tingkat penalaran berdasarkan kategori umur.
Sedangkan pada hari kedua, pelatihan lebih difokuskan pada jurnalistik Radio dan Media Online. Sesi ini peserta diberikan waktu untuk saling berdialog untuk menciptakan gagasan komunikasi pewartaan berbasis warga. Keseimbangan dan akurasi berita menjadi bahasan menarik, sebab temuan peserta ada banyak media komersil baik cetak maupun elektronik yang lari dari etika penulisan dan peliputan sesungguhnya.
Ketua JRK Sulut, Marcos Dipan pada penyampaian pengantar pelatihan mengatakan, saat ini pewarta warga menjadi tren di banyak media di Indonesia. Jurnalisme Warga atau Citizen Jurnalism adalah sebuah format ideal untuk terjalinnya komunkasi dan informasi dari kalangan masyarakat.
“Harapan kita akan begitu banyak informasi yang tersalurkan dari tingkatan bawah untuk diketahui banyak orang, terutama para pengambil kebijakan kepemerintahan, sehingga arus informasi bisa mengalir sesuai dengan keinginan kita bersama,” tutur Marcos.
Sedangkan pengenalan media dan jurnalistik bagi kalangan remaja dan anak-anak dipandang perlu untuk dikembangkan agar mereka tidak terjerumus ke informasi-informasi menyesatkan di zaman yang semakin bebas menggunakan perangkat canggih internet, “Pembelajaran ini tentu sangat bermanfaat bagi generasi muda dan anak-anak untuk mengetahui mana yang terbaik untuk konsumsi mereka, termasuk soal teknologi informasi internet. Kita harus menggunakan internet sesuai kebutuhan. Gunakanlah internet secara sehat, dan hindari mengakses konten-konten negative yang begitu banyak beredar,” sambungnya.
Peserta pelatihan dan workshop pada hari pertama turut diikuti oleh anak-anak dari Pusat Pengembangan Anak (PPA) Mawar Sharon Tompaso Baru. Basic materi kepada mereka ditekankan pada pendidikan Budaya dan keagamaan melalui pempelajaran dan pengenalan majalah dinding (Mading) yang disesuaikan dengan tingkatan penalaran mereka. (jrksulut)

sumber : http://suarakomunitas.net/baca/18893/lintas-komunitas-ikuti-pelatihan-jurnalistik-di-tompaso-baru.html

Sabtu, 10 Desember 2011

Seminar Jurnalistik Warga (Citizen Journalism)

Yogyakarta, _Perkembangan jurnalistik online yang kemudian melahirkan citizen journalism atau jurnalistik warga membuka peluang dan tantangan baru bagi jurnalistik di Indonesia.Menyikapi hal tersebut,maka jurusan Komunikasi Universitas Pembangunan Nasional Yogyakarta menyelenggrakan seminar dengan tema “Peluang dan Tantangan Pengembangan Citizen Journalism di Media Massa”yang diselenggarakan Rabu (7/12) di ruang Seminar UPN Yogyakarta
Seminar yang dihadiri oleh mahasiswa komunikasi konsentrasi jurnalistiik UPN Veteran Yogyakarta ini menghadirkan dua orang pembicara yaitu Setia Krisna Sumarno yang merupakan redaksi dari surat kabar Tribun Jogja dan Subhan Afifi,dosen mata kuliah jurnalistik online Universitas Pembangunan Nasional Veteran Yogyakarta.Setia Krisna Sumarno menjelaskan bahwa citizen jounalism mempunyai manfaat yang besar.Ia mengambil contoh blog di Korea oh my news yang sampai saat ini berkembang sangat pesat dan memiliki manfaat yang besar bagi warga di Korea.Ia juga menjelaskan evolusi dari jurnalisme warga yaitu dimulai dengan surat pembaca,kolom konsultasi,dan kolom advertorial.Setia Sumarno yang merupakan lulusan hukum ini menjelaskan jurnalisme warga memberikan kemudahan yaitu dalam kecepatan penyajian informasi.Kasus terungkapnya Gayus Tambunan yang sedang bersafari di Bali merupakan salah satu bukti manfaat dari jurnalisme warga.Namun salah satu tantangan yang dihadap oleh citizen journalism adalah dalam penyajian informasi kode etik jurnalistik yang kadang-kadang dilanggar oleh penulisnya hal ini diakibatkan kurangnya pengetahuan tentang jurnalistik serta kode etik dalam penulisan berita.Dalam seminar yang dimoderatori oleh Arif Wibawa, pembicara kedua Subhan Afifi menjelaskan dengan adanya jurnalistik online terjadi revolusi dalam media,revolusi itu meliputi interaktif yang terjadi antara jurnalis dan pembaca berita dan berita yang dimuat bersifat permanen.Everyone can be journalist merupakan dampak nyata dari perkembangan jurnalistik online.Salah satu isu yang epnting dalam jurnalistik online adalah jurnalistik online bukan merupakan bentuk persaingan media yang baru,tetapi merupakan perluasan dari media.Mengakhiri materi yang disampaikan Subhan Afifi menjelaskan bahwa salah satu agenda ke depan dalam jurnalistik onleine adalah akurasi dan kredibilitas dalam penyajian berita para jurnalis warga.

sumber :  http://regional.kompasiana.com/2011/12/10/seminar-jurnalistik-warga-citizen-journalism/

Social Media dan Jurnalistik Warga

Gegap gempita media sosial telah kita rasakan beberapa tahun terakhir. Media sosial oleh sejumlah penggunanya bukan lagi sekadar menjadi ajang  narsis dan pamer pencapaian diri. Lebih dari itu tak sedikit pengguna yang meningkat levelnya, dengan menjadikannya sebagai tempat melaporkan sesuatu kejadian, menuangkan hasil reportase. Citizen journalism makin naik daun seiring perkembangan social media.
Nggak di Facebook, nggak di Twitter, nggak di Kompasiana atau blog pribadi.  Mereka secara sengaja, tak sengaja atau bahkan sengaja banget telah melakukan kerja jurnalistik yang diistilahkan dengan “6M” yaitu mencari, mengobservasi, mengolah, menulis dan kemudian menyajikan/mempublish. Mereka inilah para jurnalis warga.
Saya ingin menggarisbawahi salah satu bagian kerja jurnalistik yaitu: “MENULIS”. Menulis adalah  level tertinggi dalam keterampilan berbahasa setelah membaca dan berbicara. Orang yang suka membaca belum tentu bisa menulis. Orang yang cakap berbicara belum tentu mampu menuliskan apa yang dibicarakannya. Kompasianer sudah melakukan reportase, namun belum tentu bisa menuliskannya dengan baik dan menarik.
Pendeknya, saya berikan apresiasi tinggi kepada semua yang telah menulis di Kompasiana ini. Lebih terkhusus lagi pada mereka yang gemar menulis karya jurnalistik (laporan), yang akhirnya turut meramaikan spirit jurnalisme warga melalui media sosial. Lebih keren lagi, informasi yang disajikan para jurnalis warga ini acapkali tak kalah menarik dan penting dibanding yang disajikan oleh media profesional. Lihat saja di jagat Kompasiana ini. Begitu banyak kisah inspiratif dan informasi yang penting diketahui, menyangkut  hajat hidup orang banyak.
Yang menakjubkan lagi, teknis penulisannya begitu beragam dan kreatif. Saya harus mengakui tak jarang ketika ada informasi yang sama disajikan jurnalis profesional dan kompasianer, ternyata tulisan kawan kompasianer lebih enak dibaca dan tetap memenuhi kaidah-kaidah penulisan hasil reportase.
Namun sayang di antara kawan-kawan jurnalis warga masih ada yang mengabaikan  kaidah penulisan karya jurnalistik, bahkan prinsip-prinsip dasar  yang mestinya dipegang. Tentang kaidah-kaidan dan prinsip dasar ini saya sudah menulis di postingan-postingan sebelumnya. Namun izinkan saya menuliskannya kembali untuk mengingatkan.
1. Rumus kuno 5W+1H.
Tulisan jurnalistik tidak lengkap bila meninggalkan satu saja di antara unsur: what, who, where, when. why + how.
2. Prinsip ABC
Tulisan hasil reportase sedapat mungkin memenuhi prinsip ABC terkait accuracy (keakuratan), balance (keseimbangan) dan clarity (kejelasan). Intinya menulis itu harus akurat, diusahakan balans dengan melihat sebuah peristiwa dari berbagai sisi, di samping juga harus jelas, tidak menimbulkan pertanyaan bagi pembacanya.
3. Nilai berita (news value)
Makin banyak nilai berita dari sebuah tulisan, publik makin ingin membaca. Nilai berita: penting, aktual, kontroversial, dekat di hati pembaca, menyangkut nama terkenal, memanggil rasa kemanusiaan.
4. Jujur!
Jurnalis harus jujur. Tak terkecuali jurnalis warga dong. Kata eyang guru jurnalistik Bill Kovach, kewajiban utama jurnalisme adalah pada pencarian kebenaran. Jadi kebenaran harus dijunjung tinggi, dan prasangka buruk dan fitnah harus dijauhkan dari tulisan jurnalistik.
5. Kode Etik Jurnalistik
Akan sangat baik bila jurnalis warga juga memahami Kode Etik Jurnalistik, dan syukur-syukur UU Pers. Karena sangat banyak poinnya, tidak akan saya sebutkan satu per satu. Silakan bagi yang menginginkan untuk mencari sendiri atau tanya sama Embah Google.
Dengan memahami kaidah-kaidan dan prinsip dalam jurnalistik, semoga tak terjadi lagi kasus  hoax, informasi  misleading dan lain-lain yang hanya akan memperburuk penilaian publik terhadap Kompasiana yang menjunjung tinggi spirit jurnalisme warga.  Jangan sampai publik kehilangan kepercayaan pada Kompasiana. Dan semoga makin banyak laporan yang aktual, penting dan menarik dari para jurnalis warga Kompasiana.
Kelemahan
Entah ini sebuah kelemahan atau kelebihan. Jurnalis warga adalah warga yang bebas, tidak tunduk pada perusahaan pers atau pemilik industri media. Kabar baiknya, jurnalis warga tidak harus taat pada aturan perusahaan yang ketat, dan tidak menerima penugasan dari siapapun. Mereka hanya harus tunduk pada aturan main yang berlaku di media sosial tempat dia menuangkan karya. Namun dengan kenyataan ini, pada satu sisi jurnalis warga juga tidak mendapat pelatiha apapun terkait dengan teknik penulisan berita dan etikanya dll. Mereka harus belajar dan cari tahu sendiri.
Selain itu, yang paling penting, jurnalis warga terpaksa bertanggung jawab sendiri atas hasil karya jurnalistiknya.  Tidak seperti mainstream media di mana penanggung jawab berita yang telah dipublish biasanya Pemimpin Redaksi. Sementara Facebook, Twitter atau Kompasiana tidak akan turut campur bila timbul masalah hukum terkait dengan konten/isi laporan yang ditulis jurnalis warga.
Walau demikian, tetap aja: Semangkaaaaaa!!!!




1322790541989045061sumber : http://media.kompasiana.com/new-media/2011/12/02/social-media-dan-jurnalis-warga/

Sabtu, 03 Desember 2011

KRITIK TERHADAP RUU PERGURUAN TINGGI

Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan , pengendalian diri , kepribadian , kecerdasan , akhlak mulia , serta keterampilan yang diperlukan dirinya ,mesyarakat , bangsa dan Negara (UU SISDIKNAS No.20/2003 pasal 1 (1)
Pasca pembatalan UU HHP oleh MK, pemerintah Indonesia masih berusaha melegalkan neoliberalisme dan komersialisme pendidikan. Pendidikan diperdagangkan tidak ubahnya komoditi perdagangan. Masyarakat dipaksa tercekik lehernya melihat biaya masuk institusi pendidikan seperti sekolah dan Perguruan Tinggi Negeri (PTN) yang semakin sulit dijangkau masyarakat.
Kenyataan ini sungguh memprihatinkan sebab ketika akar utama seperti pendidikan dikerdilkan, penyakit kemiskinan, kejahatan, korupsi dan perlambatan ekonomi Indonesia akan menjadi hantu turunan yang menakutkan. Kita sudah dapat belajar dari sejarah pendidikan zaman kolonial. Ketika itu, pendidikan hanya dinikmati sebagian kalangan (kaum pribumi ningrat, kulit putih dan China). Kalangan rakyat jelata tidak diberikan pendidikan layak sehingga melahirkan kebodohan dan kemiskinan. Ujungnya adalah mentalitas budak dan penyebutan “inlander” yang bersifat merendahkan status manusia Indonsia.
Diskriminasi pendidikan zaman kolonial, sekarang masih terjadi. Diskriminasi paling fatal adalah “ulah” pemerintah yang melegalkan RSBI dan sekolah berkedok keagamaan tertentu yang biaya pendidikannnya mahal. Mereka dibiarkan menciptakan zona baru, kelas kaya dan kelas miskin. Ada jurang pemisah yang lebar di mana tembok biaya menjadi masalah utama sehingga akses masyarakat terbatas untuk mendapatkan pendidikan murah dan berkualitas.
 Ironisnya keteledoran itu masih terus terulang dalam berbagai kesempatan. Salah satunya adalah Rancangan Undang – Undang Perguruan Tinggi. Sebuah produk konstitusi hasil kerjasama pemerintah dan DPR yang banyak memuat pasal kontroversial. Banyak pasal RUU Perguruan Tinggi yang sarat kepentingan asing dan meminggirkan kepentingan rakyat sebagai elemen penting yang seharusnya mendapatkan hak pendidikan.
Membiarkan Penjajahan Pendidikan
Sangat wajar jika RUU Perguruan Tinggi masih mengundang keprihatinan banyak kalangan. Dalam pasal 91 ayat 3, pemerintah mengesahkan perguruan Tinggi asing masuk ke Indonesia. Liberalisasi asing sangat kental dalam poin ini. Pemerintah mengizinkan perguruan tinggi asing membuka cabang di Indonesia. Argumen pemerintah mengusulkan pasal ini yaitu membuka peluang Perguruan Tinggi Indonesia lebih kompetitif agar dapat meningkatkan kualitas SDM Indonesia di masa mendatang.
Implikasi dari kebijakan di atas dapat menimbulkan ancaman besar. Bagaimana tidak, pendidikan akan dikembangkan menjadi jasa yang menguntungkan bagi pihak asing. Apalagi kita sudah melihat tiga negara besar yaitu Inggris, AS dan Australia mengeruk uang berlimpah dari jasa pendidikan. Pada tahun 2000 ekspor jasa pendidikan Amerika mencapai Rp 126 triliun. Di Inggris sumbangan pendapatan dari ekspor jasa pendidikan mencapai sekitar 4 persen dari penerimaan sektor jasa negara tersebut. Pada tahun 1994 sektor jasa telah menyumbangkan 70 persen pada PDB Australia, menyerap 80 persen tenaga kerja dan merupakan 20 persen dari ekspor total negara Kangguru tersebut. Artinya pembukaan PT asing akan sangat merugikan pendidikan Indonesia. Kita menghadapi penjajahan gaya baru melalui sektor pendidikan.
Selain itu, tidak ada jaminan PT asing menanamkan nilai nasionalisme. Pemberian kesempatan kepada mereka (perguruan tinggi asing) akan membawa ancaman penanaman nilai budaya Barat. Seperti yang kita ketahui, budaya masyarakat Indonesia adalah budaya ketimuran yang berlandaskan nilai Pancasila. Ketika budaya Barat sudah ditanamkan kepada peserta didik tanpa adanya filterisasi, nasionalisme akan tergerus dan kecintaan kepada Indonesia sangat mungkin luntur. Anak Indonesia kehilangan jati dirinya sehingga lebih hafal mengenal tokoh dari Barat dibandingkan pahlawan nasional.
Pemerintah seharusnya paham akar dari kebijakan izin pihak asing membuka cabang adalah paham liberalisme yang meniadakan sejarah dan mengacu kepentingan modal. HAR Tillaar dalam “Kebijakan pendidikan yang dijiwai kebangkitan Nasional” mengatakan liberalisme menganut pandangan mengenai kebebasan manusia yang tak terbatas. Yang kuat, yang pintar dan yang berduit akan mudah mendapatkan akses pendidikan. Dengan kelebihan itu, mereka berkuasa dan mengeksplorasi sesama manusia dengan pemerintah sebagai alatnya. Dampak negatifnya jelas yaitu pengabaian nilai sejarah dan perdagangan ilmu pengetahuan yang seharusnya menjadi hak seluruh rakyat Indonesia.
Negara Merampas Hak Pendidikan Rakyat
Pemerintah juga membiarkan biaya pendidikan ditanggung oleh masyarakat. Dalam pasal 86 ayat 2 berbunyi “Mahasiswa menanggung paling banyak 1/3 dari biaya operasional penyelenggaraan pendidikan tinggi yang telah ditetapkan pemerintah bersama DPR” Pemerintah berusaha melepaskan kewajiban menanggung biaya pendidikan. Sebuah kondisi yang jelas menentang konstitusi dimana pembiayaan pendidikan ditanggung negara. Meski menegaskan disesuaikan dengan kemampuan mahasiswa dan orang tua mahasiswa, kebijakan ini sangat tidak bertanggung jawab.
Implikasi pasal di atas menandakan negara tidak memiliki komitmen yang kuat meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia Indonesia. Fakta itu juga membuat negara pantas digugat karena meminggirkan konstitusi. UUD 1945 tegas menjamin terpenuhinya hak masyarakat dalam mendapatkan pelayanan dasar di bidang pendidikan. Bab XIII pasal 31 menyatakan (1) Setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan, (2) Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya. Dalam UU no. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 11 ayat 2 dinyatakan “ Pemerintah dan pemerintah daerah wajib menjamin tersedianya dana guna terselenggaranya pendidikan bagi setiap warga negara yang bersuai tujuh sampai lima belas tahun.
Dari perspektif hak, kebijakan ini mengaburkan hak setiap anggota masyarakat untuk menikmati pendidikan. Sekarang saja, orang tua sudah kesulitan memberikan pendidikan untuk anaknya karena mahalnya biaya menembus perguruan Tinggi. Berdasarkan kajian Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan Nasional, seorang mahasiswa bisa menghabiskan 10-17 juta/tahun untuk kuliah di jurusan ilmu sosial, 14 – 20 juta/tahun untuk dapat kuliah di jurusan teknik dan 32 – 62 juta/tahun agar dapat merasakan manisnya kuliah di jurusan kedokteran. Tidak dapat terbayangkan seandainya pasal ini disahkan, berapa banyak lagi masyarakat yang menangis karena gagal mendapatkan jaminan pendidikan dari negara.
Kemandirian Semu Yang Tidak Produktif
Lepasnya tanggung jawab pemerintah semakin ditegaskan dalam pasal mengenai kebijakan otonomi perguruan tinggi (pasal 52 ayat 1). Pemberian otonomi berimplikasi dibolehkannya pendirian usaha mandiri yang dilakukan perguruan tinggi. Kebijakan kemandirian finansial membuat perguruan tinggi dipaksa memutar otak mencari dana sehingga berdampak usaha memperbesar aktiva (pendapatan). Persaingan berkembang seperti hukum rimba, yang kuat dia yang menang. Semua berlomba mengejar modal agar tidak berdampak pada kebangkrutan institusi pendidikan.
Repotnya, kebijakan ini diterjemahkan perguruan tinggi dengan kemandirian secara keterlauan, semu dan bebas. Mereka mendirikan bangunan mall, pusat sertifikasi guru yang dikomersialkan, rumah sakit dan sarana mendulang uang lainnya. Merespons otonomi kampus, masyarakat pantas bertanya dimana kemampuan kontrol pemerintah dalam membiayai pendidikan? Mau dibawa ke mana arah pendidikan nasional yang mengarusutamakan modal dalam bentuk bangunan komersial?
Kemandirian dalam bentuk otonomi kampus sesungguhnya sarat titipan asing untuk menghancurkan pendidikan Indonesia. Perguruan Tinggi dibiarkan menjadi agen kapitalisme dalam mengeruk keuntungan dari masyarakat. Pemerintah dan DPR seharusnya lebih jernih melihat fakta lapangan, otonomi kampus melahirkan raja baru berbentuk rektorat. Apalagi pemerintah mengusulkan klasifikasi bentuk otonomi yaitu pengelolaan otonomi (pasal 53), semi otonomi (pasal 54) dan otonomi terbatas (pasal 55).
Dalam hal ini, saya berharap pemerintah lebih sabar dan cermat dalam merancang RUU Perguruan Tinggi agar dapat mengakomodir seluruh elemen. Minimal, kritik terhadap RUU ini menjadi bentuk masukan bagi pemerintah, bahwa selama ini ada kesenjangan antara kaya dan miskin, karena tidak adanya jaminan terhadap akses kemudahan PT bagi seluruh masyarakat.
Pemerintah juga harus disadarkan, pendidikan yang didambakan masyarakat Indonesia adalah pendidikan yang merata dan dapat diakses oleh semua anak Indonesia. Sebab hakikat dasar pendidikan yaitu mencerdaskan manusia menjadi hak asasi dasar anak Indonesia. Untuk itu, kesempatan yang seluas-luasnya perlu diberikan tanpa adanya diskriminasi, tekanan biaya pendidikan yang mahal dan pembodohan terhadap masyarakat.


Hasil Survei tenaga kerja nasional 2009 Bappenas menyatakan, dari 21,2 juta masyarakat yang masuk dalam angkatan kerja , terdapat 4,1 juta atau sekitar 22,2 persen menganggur. Sementara itu, harian Kompas 23 februari 2010 juga menjelaskan, tingkat pengangguran itu didominasi oleh lulusan diploma dan universitas dengan kisaran diatas dua juta orang. Hal ini disebabkan, pemberian pendidikan hanya bersifat akademis dan mengesampingkan moral dan kemasyarakatan.  Seharusnya perguruan tinggi  mempersiapkan mahasiswa yang bukan hanya memiliki pengetahuan, tetapi juga kompetensi, pengalaman kerja, dan kepribadian pun menjadi hal yang penting sebagai bekal bagi mahasiswa.
Dari fakta tersebut, nampaknya Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) bersama Pemerintah mulai gusar melihatnya. Sehingga, lahirlah RUU Pendidikan Tinggi (RUU PT).  Sampai saat ini, RUU PT masih dalam pembahasan di Panitia Kerja (Panja). Alih alih meningkatkan mutu, ternyata terdapat pasal yang sangat mencederai konstitusi, yaitu pasal “Internasionalisasi Pendidikan Tinggi”.
Pasal ini lahir dengan tiga iktikad baik, yaitu pembentukan masyarakat intelektual yang mandiri; pemberian wawasan pada mahasiswa sebagai bagian dari masyarakat internasional dan pemajuan nilai-nilai dan budaya bangsa Indonesia dalam pergaulan internasional. Namun, dalam pasal berikutnya dijelaskan pelaksanaanya meliputi: penyelenggaraan pembelajaran yang bertaraf internasional, kerja sama internasional antara lembaga penyelengara pendidikan tinggi Indonesia dan lembaga penyelenggara pendidikan tinggi negara lain; dan penyelenggaraan pendidikan tinggi oleh lembaga penyelenggara pendidikan tinggi negara lain. Kalimat yang jelas-jelas memberikan celah neoliberalisasi bagi pendidikan tinggi Indonesia. Dari fashion, makanan, hingga pendidikan pun semuanya akan berbau asing. Itulah kenyataan hari ini, bahwa Bagsa Indonesia telah kehilangan jati dirinya.
Mutu Perguruan Tinggi Indonesia
Berdasarkan data dari Ditjen Dikti, pada tahun 2010 tenaga kerja lulusan perguruan tinggi hanya mampu mencapai angka 7,3 persen. Artinya, tingat pendidikan tenaga kerja Indonesia sangatlah rendah.  Lulusan SD atau tidak tamat SD menjadi mayoritas tingkat pendidikan tenaga kerja Indonesia, yaitu 51,5 persen. Komposisi yang lain, sebanyak 18, 9 persen dipenuhi lulusan SMP, 14,6 persen lulusan SMA dan 7,8 persen lulusan SMK. Hal ini sangatlah berpengaruh pada jenis pekerjaan dan hasil yang diperoleh.
Merujuk pada data tersebut, berarti masih banyak lulusan perguruan tinggi yang belum menempati bursa tenaga kerja. Dengan kata lain, masih minimnya tingkat relevansi lulusan perguruan tinggi dengan dunia kerja paska kampus. Persoalan mutu menjadi sorotan utama. Meskipun pemerintah telah mengacu pada Undang Undang Sisdiknas, namun pencapain pendidikan nasional masih jauh dari harapan. Pendidikan yang seharusnya berdampak pada peningkatan kualitas manusia Indonesia masih belum meningkat secara signifikan, justru disusul oleh negara-negara berkembang lainnya.
Perguruan tinggi selalu menjadi motor perubahan sosial masyarakat. Keterpurukan mutu ini, janganlah menjadi alasan untuk membuka pintu bagi perguruan tinggi asing untuk didirikan di Indonesia. Melalui pasal Internasionalisasi Pendidikan Tinggi, berarti membuka peluang kerjasama pendirian perguruan tinggi asng di Indonesia. Hal ini akan melumpuhkan secara perlahan perguruan tinggi dalam negeri. Selain itu, melihat tipe masyarakat Indonesia yang selalu gamang dengan kebudayaan barat, maka akan menimbulkan ancaman bagi eksistensi budaya Indonesia.
Penyederhanaan
Solusi terbaik dari permasalahan ini adalah peningkatan mutu pendidikan tinggi di Indonesia. Namun, bukan dengan membuka pasar asing untuk masuk ke dalam negeri. . Bila dibandingkan dengan negara lain, peringkat perguruan tinggi Indonesia masih jauh dari harapan. Misalnya, Universitas Indonesia (UI) yang merupakan perguruan tinggi terbaik di Indonesia baru mampu menduduki peringkat ke 201 dari universitas seluruh dunia. Nah, bagaimana bisa perguruan tinggi dalam negeri mau leading di Internasional?
Seharusnya RUU PT inilah yang akan melindungi pendidikan tinggi Indonesia, bukan malah membuka pintu lebar-lebar bagi produk asing. Jika urusan pangan, maka petani yang telah dibunuh perlahan lahan dengan adanya impor pangan. Sekarang, giliran sektor pendidikan yang akan lumpuh secara pelan-pelan. Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI) telah menjadi bukti nyata, bagaimana pendidikan mengutamakan nama “internasional”, namun mutu nya masih dipertanyakan.
Jadi, internasionalisasi ini lahir karena ketidakberdayaan perguruan tinggi dalam negeri  dalam bersaing dengan perguruan tinggi asing. Konstruksi berfikir ini yang harus dihilangkan dari para pengambil kebijakan di negeri ini. Jangan sampai pendidikan sebagai backbone karakter bangsa ini tercemar dengan segala bentuk jenis asing.