Sabtu, 03 Desember 2011

KRITIK TERHADAP RUU PERGURUAN TINGGI

Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan , pengendalian diri , kepribadian , kecerdasan , akhlak mulia , serta keterampilan yang diperlukan dirinya ,mesyarakat , bangsa dan Negara (UU SISDIKNAS No.20/2003 pasal 1 (1)
Pasca pembatalan UU HHP oleh MK, pemerintah Indonesia masih berusaha melegalkan neoliberalisme dan komersialisme pendidikan. Pendidikan diperdagangkan tidak ubahnya komoditi perdagangan. Masyarakat dipaksa tercekik lehernya melihat biaya masuk institusi pendidikan seperti sekolah dan Perguruan Tinggi Negeri (PTN) yang semakin sulit dijangkau masyarakat.
Kenyataan ini sungguh memprihatinkan sebab ketika akar utama seperti pendidikan dikerdilkan, penyakit kemiskinan, kejahatan, korupsi dan perlambatan ekonomi Indonesia akan menjadi hantu turunan yang menakutkan. Kita sudah dapat belajar dari sejarah pendidikan zaman kolonial. Ketika itu, pendidikan hanya dinikmati sebagian kalangan (kaum pribumi ningrat, kulit putih dan China). Kalangan rakyat jelata tidak diberikan pendidikan layak sehingga melahirkan kebodohan dan kemiskinan. Ujungnya adalah mentalitas budak dan penyebutan “inlander” yang bersifat merendahkan status manusia Indonsia.
Diskriminasi pendidikan zaman kolonial, sekarang masih terjadi. Diskriminasi paling fatal adalah “ulah” pemerintah yang melegalkan RSBI dan sekolah berkedok keagamaan tertentu yang biaya pendidikannnya mahal. Mereka dibiarkan menciptakan zona baru, kelas kaya dan kelas miskin. Ada jurang pemisah yang lebar di mana tembok biaya menjadi masalah utama sehingga akses masyarakat terbatas untuk mendapatkan pendidikan murah dan berkualitas.
 Ironisnya keteledoran itu masih terus terulang dalam berbagai kesempatan. Salah satunya adalah Rancangan Undang – Undang Perguruan Tinggi. Sebuah produk konstitusi hasil kerjasama pemerintah dan DPR yang banyak memuat pasal kontroversial. Banyak pasal RUU Perguruan Tinggi yang sarat kepentingan asing dan meminggirkan kepentingan rakyat sebagai elemen penting yang seharusnya mendapatkan hak pendidikan.
Membiarkan Penjajahan Pendidikan
Sangat wajar jika RUU Perguruan Tinggi masih mengundang keprihatinan banyak kalangan. Dalam pasal 91 ayat 3, pemerintah mengesahkan perguruan Tinggi asing masuk ke Indonesia. Liberalisasi asing sangat kental dalam poin ini. Pemerintah mengizinkan perguruan tinggi asing membuka cabang di Indonesia. Argumen pemerintah mengusulkan pasal ini yaitu membuka peluang Perguruan Tinggi Indonesia lebih kompetitif agar dapat meningkatkan kualitas SDM Indonesia di masa mendatang.
Implikasi dari kebijakan di atas dapat menimbulkan ancaman besar. Bagaimana tidak, pendidikan akan dikembangkan menjadi jasa yang menguntungkan bagi pihak asing. Apalagi kita sudah melihat tiga negara besar yaitu Inggris, AS dan Australia mengeruk uang berlimpah dari jasa pendidikan. Pada tahun 2000 ekspor jasa pendidikan Amerika mencapai Rp 126 triliun. Di Inggris sumbangan pendapatan dari ekspor jasa pendidikan mencapai sekitar 4 persen dari penerimaan sektor jasa negara tersebut. Pada tahun 1994 sektor jasa telah menyumbangkan 70 persen pada PDB Australia, menyerap 80 persen tenaga kerja dan merupakan 20 persen dari ekspor total negara Kangguru tersebut. Artinya pembukaan PT asing akan sangat merugikan pendidikan Indonesia. Kita menghadapi penjajahan gaya baru melalui sektor pendidikan.
Selain itu, tidak ada jaminan PT asing menanamkan nilai nasionalisme. Pemberian kesempatan kepada mereka (perguruan tinggi asing) akan membawa ancaman penanaman nilai budaya Barat. Seperti yang kita ketahui, budaya masyarakat Indonesia adalah budaya ketimuran yang berlandaskan nilai Pancasila. Ketika budaya Barat sudah ditanamkan kepada peserta didik tanpa adanya filterisasi, nasionalisme akan tergerus dan kecintaan kepada Indonesia sangat mungkin luntur. Anak Indonesia kehilangan jati dirinya sehingga lebih hafal mengenal tokoh dari Barat dibandingkan pahlawan nasional.
Pemerintah seharusnya paham akar dari kebijakan izin pihak asing membuka cabang adalah paham liberalisme yang meniadakan sejarah dan mengacu kepentingan modal. HAR Tillaar dalam “Kebijakan pendidikan yang dijiwai kebangkitan Nasional” mengatakan liberalisme menganut pandangan mengenai kebebasan manusia yang tak terbatas. Yang kuat, yang pintar dan yang berduit akan mudah mendapatkan akses pendidikan. Dengan kelebihan itu, mereka berkuasa dan mengeksplorasi sesama manusia dengan pemerintah sebagai alatnya. Dampak negatifnya jelas yaitu pengabaian nilai sejarah dan perdagangan ilmu pengetahuan yang seharusnya menjadi hak seluruh rakyat Indonesia.
Negara Merampas Hak Pendidikan Rakyat
Pemerintah juga membiarkan biaya pendidikan ditanggung oleh masyarakat. Dalam pasal 86 ayat 2 berbunyi “Mahasiswa menanggung paling banyak 1/3 dari biaya operasional penyelenggaraan pendidikan tinggi yang telah ditetapkan pemerintah bersama DPR” Pemerintah berusaha melepaskan kewajiban menanggung biaya pendidikan. Sebuah kondisi yang jelas menentang konstitusi dimana pembiayaan pendidikan ditanggung negara. Meski menegaskan disesuaikan dengan kemampuan mahasiswa dan orang tua mahasiswa, kebijakan ini sangat tidak bertanggung jawab.
Implikasi pasal di atas menandakan negara tidak memiliki komitmen yang kuat meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia Indonesia. Fakta itu juga membuat negara pantas digugat karena meminggirkan konstitusi. UUD 1945 tegas menjamin terpenuhinya hak masyarakat dalam mendapatkan pelayanan dasar di bidang pendidikan. Bab XIII pasal 31 menyatakan (1) Setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan, (2) Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya. Dalam UU no. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 11 ayat 2 dinyatakan “ Pemerintah dan pemerintah daerah wajib menjamin tersedianya dana guna terselenggaranya pendidikan bagi setiap warga negara yang bersuai tujuh sampai lima belas tahun.
Dari perspektif hak, kebijakan ini mengaburkan hak setiap anggota masyarakat untuk menikmati pendidikan. Sekarang saja, orang tua sudah kesulitan memberikan pendidikan untuk anaknya karena mahalnya biaya menembus perguruan Tinggi. Berdasarkan kajian Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan Nasional, seorang mahasiswa bisa menghabiskan 10-17 juta/tahun untuk kuliah di jurusan ilmu sosial, 14 – 20 juta/tahun untuk dapat kuliah di jurusan teknik dan 32 – 62 juta/tahun agar dapat merasakan manisnya kuliah di jurusan kedokteran. Tidak dapat terbayangkan seandainya pasal ini disahkan, berapa banyak lagi masyarakat yang menangis karena gagal mendapatkan jaminan pendidikan dari negara.
Kemandirian Semu Yang Tidak Produktif
Lepasnya tanggung jawab pemerintah semakin ditegaskan dalam pasal mengenai kebijakan otonomi perguruan tinggi (pasal 52 ayat 1). Pemberian otonomi berimplikasi dibolehkannya pendirian usaha mandiri yang dilakukan perguruan tinggi. Kebijakan kemandirian finansial membuat perguruan tinggi dipaksa memutar otak mencari dana sehingga berdampak usaha memperbesar aktiva (pendapatan). Persaingan berkembang seperti hukum rimba, yang kuat dia yang menang. Semua berlomba mengejar modal agar tidak berdampak pada kebangkrutan institusi pendidikan.
Repotnya, kebijakan ini diterjemahkan perguruan tinggi dengan kemandirian secara keterlauan, semu dan bebas. Mereka mendirikan bangunan mall, pusat sertifikasi guru yang dikomersialkan, rumah sakit dan sarana mendulang uang lainnya. Merespons otonomi kampus, masyarakat pantas bertanya dimana kemampuan kontrol pemerintah dalam membiayai pendidikan? Mau dibawa ke mana arah pendidikan nasional yang mengarusutamakan modal dalam bentuk bangunan komersial?
Kemandirian dalam bentuk otonomi kampus sesungguhnya sarat titipan asing untuk menghancurkan pendidikan Indonesia. Perguruan Tinggi dibiarkan menjadi agen kapitalisme dalam mengeruk keuntungan dari masyarakat. Pemerintah dan DPR seharusnya lebih jernih melihat fakta lapangan, otonomi kampus melahirkan raja baru berbentuk rektorat. Apalagi pemerintah mengusulkan klasifikasi bentuk otonomi yaitu pengelolaan otonomi (pasal 53), semi otonomi (pasal 54) dan otonomi terbatas (pasal 55).
Dalam hal ini, saya berharap pemerintah lebih sabar dan cermat dalam merancang RUU Perguruan Tinggi agar dapat mengakomodir seluruh elemen. Minimal, kritik terhadap RUU ini menjadi bentuk masukan bagi pemerintah, bahwa selama ini ada kesenjangan antara kaya dan miskin, karena tidak adanya jaminan terhadap akses kemudahan PT bagi seluruh masyarakat.
Pemerintah juga harus disadarkan, pendidikan yang didambakan masyarakat Indonesia adalah pendidikan yang merata dan dapat diakses oleh semua anak Indonesia. Sebab hakikat dasar pendidikan yaitu mencerdaskan manusia menjadi hak asasi dasar anak Indonesia. Untuk itu, kesempatan yang seluas-luasnya perlu diberikan tanpa adanya diskriminasi, tekanan biaya pendidikan yang mahal dan pembodohan terhadap masyarakat.


Hasil Survei tenaga kerja nasional 2009 Bappenas menyatakan, dari 21,2 juta masyarakat yang masuk dalam angkatan kerja , terdapat 4,1 juta atau sekitar 22,2 persen menganggur. Sementara itu, harian Kompas 23 februari 2010 juga menjelaskan, tingkat pengangguran itu didominasi oleh lulusan diploma dan universitas dengan kisaran diatas dua juta orang. Hal ini disebabkan, pemberian pendidikan hanya bersifat akademis dan mengesampingkan moral dan kemasyarakatan.  Seharusnya perguruan tinggi  mempersiapkan mahasiswa yang bukan hanya memiliki pengetahuan, tetapi juga kompetensi, pengalaman kerja, dan kepribadian pun menjadi hal yang penting sebagai bekal bagi mahasiswa.
Dari fakta tersebut, nampaknya Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) bersama Pemerintah mulai gusar melihatnya. Sehingga, lahirlah RUU Pendidikan Tinggi (RUU PT).  Sampai saat ini, RUU PT masih dalam pembahasan di Panitia Kerja (Panja). Alih alih meningkatkan mutu, ternyata terdapat pasal yang sangat mencederai konstitusi, yaitu pasal “Internasionalisasi Pendidikan Tinggi”.
Pasal ini lahir dengan tiga iktikad baik, yaitu pembentukan masyarakat intelektual yang mandiri; pemberian wawasan pada mahasiswa sebagai bagian dari masyarakat internasional dan pemajuan nilai-nilai dan budaya bangsa Indonesia dalam pergaulan internasional. Namun, dalam pasal berikutnya dijelaskan pelaksanaanya meliputi: penyelenggaraan pembelajaran yang bertaraf internasional, kerja sama internasional antara lembaga penyelengara pendidikan tinggi Indonesia dan lembaga penyelenggara pendidikan tinggi negara lain; dan penyelenggaraan pendidikan tinggi oleh lembaga penyelenggara pendidikan tinggi negara lain. Kalimat yang jelas-jelas memberikan celah neoliberalisasi bagi pendidikan tinggi Indonesia. Dari fashion, makanan, hingga pendidikan pun semuanya akan berbau asing. Itulah kenyataan hari ini, bahwa Bagsa Indonesia telah kehilangan jati dirinya.
Mutu Perguruan Tinggi Indonesia
Berdasarkan data dari Ditjen Dikti, pada tahun 2010 tenaga kerja lulusan perguruan tinggi hanya mampu mencapai angka 7,3 persen. Artinya, tingat pendidikan tenaga kerja Indonesia sangatlah rendah.  Lulusan SD atau tidak tamat SD menjadi mayoritas tingkat pendidikan tenaga kerja Indonesia, yaitu 51,5 persen. Komposisi yang lain, sebanyak 18, 9 persen dipenuhi lulusan SMP, 14,6 persen lulusan SMA dan 7,8 persen lulusan SMK. Hal ini sangatlah berpengaruh pada jenis pekerjaan dan hasil yang diperoleh.
Merujuk pada data tersebut, berarti masih banyak lulusan perguruan tinggi yang belum menempati bursa tenaga kerja. Dengan kata lain, masih minimnya tingkat relevansi lulusan perguruan tinggi dengan dunia kerja paska kampus. Persoalan mutu menjadi sorotan utama. Meskipun pemerintah telah mengacu pada Undang Undang Sisdiknas, namun pencapain pendidikan nasional masih jauh dari harapan. Pendidikan yang seharusnya berdampak pada peningkatan kualitas manusia Indonesia masih belum meningkat secara signifikan, justru disusul oleh negara-negara berkembang lainnya.
Perguruan tinggi selalu menjadi motor perubahan sosial masyarakat. Keterpurukan mutu ini, janganlah menjadi alasan untuk membuka pintu bagi perguruan tinggi asing untuk didirikan di Indonesia. Melalui pasal Internasionalisasi Pendidikan Tinggi, berarti membuka peluang kerjasama pendirian perguruan tinggi asng di Indonesia. Hal ini akan melumpuhkan secara perlahan perguruan tinggi dalam negeri. Selain itu, melihat tipe masyarakat Indonesia yang selalu gamang dengan kebudayaan barat, maka akan menimbulkan ancaman bagi eksistensi budaya Indonesia.
Penyederhanaan
Solusi terbaik dari permasalahan ini adalah peningkatan mutu pendidikan tinggi di Indonesia. Namun, bukan dengan membuka pasar asing untuk masuk ke dalam negeri. . Bila dibandingkan dengan negara lain, peringkat perguruan tinggi Indonesia masih jauh dari harapan. Misalnya, Universitas Indonesia (UI) yang merupakan perguruan tinggi terbaik di Indonesia baru mampu menduduki peringkat ke 201 dari universitas seluruh dunia. Nah, bagaimana bisa perguruan tinggi dalam negeri mau leading di Internasional?
Seharusnya RUU PT inilah yang akan melindungi pendidikan tinggi Indonesia, bukan malah membuka pintu lebar-lebar bagi produk asing. Jika urusan pangan, maka petani yang telah dibunuh perlahan lahan dengan adanya impor pangan. Sekarang, giliran sektor pendidikan yang akan lumpuh secara pelan-pelan. Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI) telah menjadi bukti nyata, bagaimana pendidikan mengutamakan nama “internasional”, namun mutu nya masih dipertanyakan.
Jadi, internasionalisasi ini lahir karena ketidakberdayaan perguruan tinggi dalam negeri  dalam bersaing dengan perguruan tinggi asing. Konstruksi berfikir ini yang harus dihilangkan dari para pengambil kebijakan di negeri ini. Jangan sampai pendidikan sebagai backbone karakter bangsa ini tercemar dengan segala bentuk jenis asing.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar